Wednesday, January 17, 2007

Ramadan fasting alters arsenic metabolism

Millions of people in some of the poorest regions in the world are exposed to high levels of arsenic through drinking contaminated water. Many of the people affected also fast for one month of the year during Ramadan, when they don't drink or eat during daylight hours. But the effect of fasting on arsenic metabolism has remained unknown until now.
Long-term exposure to arsenic in drinking water is known to cause cancer of the skin, lungs, bladder and kidneys as well as causing changes to the skin such as pigmentation and thickening. The development of cancer caused by arsenic exposure is believed to be dependant on dietary and nutritional factors, which can affect arsenic metabolism.
Parvez Haris at De Montfort University in Leicester and colleagues studied the effect of fasting on how arsenic is excreted in urine. The researchers used a group of volunteers in the UK who were fasting for Ramadan. The subjects were not exposed to contaminated water, but arsenic was present at a natural background level. The volunteers provided urine samples first thing in the morning, at the beginning of their fast, and again at sunset when fasting ends.

Fasting is observed between sunrise and sunset during Ramadan

The researchers analysed the samples using a mass spectrometry technique and found that the total level of arsenic at the beginning and end of fasting did not change significantly. However, one particularly toxic arsenic species, methylarsonate, was found more frequently in the evening samples than the morning ones.
Haris suggests that the results show that fasting changes how the body metabolises arsenic, favouring the removal of the most toxic arsenic species present.
Haris hopes to explore how fasting influences arsenic metabolism in people who are exposed to high levels of arsenic in countries such as Bangladesh and India. (Nicola Burton)

Bisa jadi puasa ramadhan ini bisa membantu mengeluarkan lebih banyak kadar arsen yang terakumulasi di tubuh bagi yang berpuasa ketimbang tidak berpuasa, dilihat dari kadar toksin arsen yang lebih banyak pada urin orang yang puasa ramadhan.

Monday, January 15, 2007

UV ray


Sewaktu penelitian di laboratorium hayati UGM dulu aku menggunakan sinar UV (Ultra Violet) untuk mensterilisasi ruangan penelitian dan laminar (meja tempat percobaan). Kala itu, aku melakukan percobaan bareng saudaraku seangkatan di kimia, namanya Mahdiawati. Aku dan dia belum pernah melakukan penelitian di lab hayati sebelumnya. So, kami nggak seberapa memahami aturan kerja di lab itu.

Suatu ketika, aku dan dia melakukan persiapan untuk uji sitotoksisitas buah mahkota dewa terhadap sel kanker limfoma. Mahdia menyalakan lampu UV pada laminar dan ruangan percobaan agar laminar dan ruangan menjadi steril. Efek UV mampu membunuh bakteri atau organisme jika dipaparkan pada waktu tertentu. Setelah beberapa lama, kami mematikan lampu UV untuk ruangan. Kemudian kami menuju laminar untuk mengerjakan uji sitotoksisitas dengan sampel mahkota dewa yang kami bawa dari laboratorium biokimia MIPA.

Ketika kami sedang bekerja, ada suatu hal yang mengganjal dibenakku…Btw, kok cahaya yang dipake buat bekerja ini nggak begitu nyaman dipandang mata. Trus, benda-benda yang kulihat warnanya monokromatik / 1 warna gitu? Aku nyeletuk ke Mahdia. “Mahdia, apa bener cahaya yang kita pake ini cahaya tampak? Kok kayaknya aneh pencahayaannya….Atau, jangan-jangan… ini sinar UV. Yang kita pake ni sinar UV atau sinar tampak?” Serius nih, udah agak lama kita ngerjain percobaan di sini…
Aku juga bingung, nggak bisa bedain, cahaya yang dipakai di laminar itu cahaya tampak atau UV. Akhirnya, kami menduga cahaya yang dipake tuch cahaya tampak yang berasal dari cahaya matahari pagi yang menerobos jendela ruangan kami.

Namun, tidak beberapa lama berselang, ada mbak laboran yang melihat kami. Serta merta beliau menegur kami. “ De’!!! Kok kerjanya pake sinar UV?! Itu kan buat sterilisasi aja. Kalau kerja, ya lampu UV di laminar mestinya dimatikan. Kalau kena tangan lama-lama, bisa-bisa kulit tanganmu gatal-gatal dan menghitam lho.”
Astaghfirullahal adziim!!! kami berdua melirik ke telapak tangan kami. Pufff….Alhamdulillahi, masih normal-normal aja. Mbak laboran itu juga cerita kalau dulu pernah ada kasus, seorang peneliti wanita bekerja di bawah lampu UV sampai beberapa jam (mungkin dia lupa matikan lampu UV laminar) kemudian tangannya jadi gatal-gatal dan besoknya jadi menghitam/melepuh…Kena radiasi mungkin.

Betapa kalau bekerja perlu mengutamakan safety dan memperhatikan aturan kerja di lab. Ceroboh…bisa jadi fatal akibatnya. Di mana pun kerja kita, semoga kita bisa selalu berhati-hati dan mengutamakan K-3 (kesehatan dan keselamatan kerja). Semoga Allah menambah berkah dan ridho-Nya atas kerja-kerja kita, amiin.

Sunday, January 14, 2007

murobbi

Sekilas…aku teringat lagi masa2 di mana aku bercengkrama dengan beberapa akhwat yang pernah jadi murobbiku…
Sungguh…jasa mereka besar sekali. Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan mereka. Mereka semua sosok ideal yang membuatku bangga bisa menjadi mutarobbi mereka. Mereka mempunyai karakter muslim yang kuat, bersahaja, bijaksana, kata-katanya bermakna, tegas dan sabar. Semoga mereka mau memaafkan aku kalau ku sering lalai dari amanah yang diberikan dan menyusahkan mereka. Aku merasa beruntung sekali bisa mengecap hidayah-Nya ini yang mana ini tak lain dari jasa murobbi. Aku berdoa semoga mereka menjadi murobbi yang dirindukan syurga.

Siapa yang berpengaruh terhadap munculnya orang sehebat Syekh Ahmad Yassin yang dari kursi rodanya memobilisasi rakyat Palestine untuk berjuang? Orang yang berada dibalik munculnya figur Syekh Ahmad Yassin adalah murobbinya. Siapa yang berjasa terhadap hidayah dakwah yang kita rasakan saat ini? Siapa lagi kalau bukan guru kita, murobbi kita….
Murobbi adalah orang yang mempertautkan hati mad’u kepada Robbnya. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan menyayangi kalian, murobbiku…

Wednesday, January 10, 2007

Penggunaan Gas Ketawa sebagai Anestetik

Untuk menghilangkan rasa sakit selama operasi bedah, dokter biasanya menggunakan obat pemati rasa (anestetik). Salah satu anestetik yang sering digunakan adalah gas dinitrogen monoksida. Gas yang ditemukan Joseph Priestley ini disebut juga gas ketawa karena dapat menyebabkan orang yang menghirupnya tertawa terbahak-bahak. Pada mulanya, gas ketawa hanya digunakan sebagai alat untuk menghibur dalam suatu pertunjukan. Revolusi penggunaan gas ketawa dari sekedar alat hiburan menjadi obat pemati rasa bermula dari peristiwa pada 10 Desember 1844. Pada tanggal tersebut, seorang dokter gigi bernama Horace Wells beserta istrinya sedang menonton pertunjukan gas ketawa. Pertunjukan yang dipandu Quincy Colton tersebut mendemonstrasikan efek dari gas ketawa. Colton meminta beberapa penonton untuk menghirup gas ketawa. Samuel Cooley, salah seorang yang ikut menghirup gas ketawa menunjukkan perilaku aneh. Perilaku Cooley menjadi kasar. Ia dan penonton lainnya berkelahi hingga babak belur. Akibat perkelahian itu, Cooley menjadi terluka dan tubuhnya penuh dengan darah. Meskipun demikian, Cooley tidak merasa sakit. Ia baru merasakan sakit setelah pengaruh gas ketawa habis. Kejadian tersebut rupanya menginspirasi Wells untuk menggunakan gas ketawa dalam operasi pencabutan gigi. Pada saat itu, pencabutan gigi sangat menyakitkan. Menurut pemikiran Wells, jika gas ketawa dapat membuat orang tahan terhadap sakit yang dideritanya seperti yang dialami Colley, hal yang sama juga mungkin akan dirasakan pasiennya seandainya mereka diberikan gas ketawa.Sumber: Virtual Museum of AnesthesiologyIlustrasi yang melukiskan penggunaan gas ketawa sebagai alat hiburanHorace Wells tidak menunggu waktu untuk menguji dugaannya. Keesokan harinya, ia meminta rekan kerjanya, yaitu dokter John Riggs untuk mencabut gigi gerahamnya yang telah membusuk. Sebelumnya, Wells menghirup gas ketawa yang diperolehnya dari Colton. Begitu Wells tidak sadarkan diri, dokter Riggs segera mencabut gigi. Operasi berjalan lancar. Pengaruh gas ketawa yang dihirup Wells habis seiring berakhirnya operasi. Wells mengaku bahwa ia tidak merasakan sakit selama operasi. Wells kemudian meminta Colton untuk mengajarinya cara membuat dan menggunakan gas ketawa. Sumber: InternetHorace Wells menghirup gas ketawa sebelum giginya dicabutDicemoohWells kemudian mempunyai ide untuk menyebarluaskan penemuannya kepada khalayak. Semangat Wells semakin menggebu setelah bertemu dengan mantan muridnya, William Morton. Morton menganjurkan Wells agar mendemonstrasikan penggunaan gas ketawa dalam operasi pencabutan gigi di tempat umum. Pada Januari 1845 sesuai dengan rencana, demontrasi pun dilakukan di Harvard Medical School di Boston. Demontrasi tersebut menarik sebagian besar siswa untuk menghadirinya. Salah seorang pengunjung bersedia untuk menjadi kelinci percobaan Wells. Ia lalu menghirup gas ketawa. Sayang, Wells gugup dan tidak sabar untuk segera mengetahui hasilnya. Ia mencabut gigi pada saat gas ketawa belum bekerja mematikan rasa. Alhasil si pasien menjerit kesakitan pada saat giginya dicabut.Demonstrasi Wells gagal total. Para pengunjung mencemooh Wells sebagai penipu.Disanjung Masyarakat Paris
Sumber: internetPatung Wells
Mulanya Wells sempat putus asa karena demonstrasinya gagal. Rumah dan tempat praktik giginya di Hartford dijual. Namun, bukan berarti Wells menyerah begitu saja. Ia tetap yakin bahwa gas ketawa dapat digunakan sebagai obat pemati rasa dalam operasi pencabutan gigi. Wells kemudian berkeliling Eropa untuk memperkenalkan penggunaan gas ketawa sebagai zat anestetik sambil berharap banyak orang yang mempercayainya. Ketika Wells berkunjung ke Paris, Organisasi Kedokteran Paris (Paris Medical Society) tertarik dengan demontrasinya. Berbeda dengan masyarakat Boston yang mencemoohnya, masyarakat Paris justru menyanjungnya. Gas ketawa digunakan para dokter gigi Paris sebagai obat pemati rasa dalam operasi pencabutan gigi. Tidak heran jika di Paris berdiri kokoh patung Horace Wells sebagai tanda penghargaan masyarakat Paris atas sumbangsih Wells. Pada saat Wells merasa bahagia karena idenya diterima masyarakat Paris, ia kembali terluka. Pangkal masalahnya adalah surat William Morton yang mengabarkan bahwa ia berhasil menemukan eter sebagai anestetik pengganti gas ketawa. Wells sakit hati karena merasa idenya telah dicuri muridnya sendiri. Ia pun segera kembali ke New York. Masyarakat ternyata lebih mempercayai eter yang digunakan Morton sebagai anestetik dibandingkan gas ketawa. Wells semakin terpuruk tatkala mengetahui adanya penemuan kloroform sebagai anestetik. Dengan penemuan eter dan kloroform, penggunaan gas ketawa semakin dipandang sebelah mata.Meninggal bunuh diriKarena penasaran dengan khasiat kloroform sebagai anestetik, suatu hari pada bulan Januari 1848, Wells melakukan percobaan dengan menggunakan kloroform selama seminggu. Ia melakukannya sendiri. Akibat dari perbuatannya itu cukup mengerikan. Wells menjadi ketagihan dan lambat laun menjadi gila. Hingga suatu hari, dalam keadaan mabuk parah, Wells berlari ke jalanan dan menumpahkan asam sulfat yang mengenai dua orang wanita tuna susila. Atas tindakan brutalnya, ia dijebloskan ke penjara. Setelah sadar, Wells sangat menyesali tindakan bodohnya. Ia akhirnya putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri pada 23 Januari 1848. Wells menghirup kloroform, kemudian menyayat nadinya dengan silet. Sangat disayangkan, tokoh yang berjasa mengenalkan penggunaan obat bius dalam dunia kedokteran mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Horace Wells layak diberi penghargaan atas ide-ide cemerlangnya. Meskipun Horace Wells bukan penemu gas ketawa, dialah yang pertama kali menggunakan gas ketawa untuk tujuan medis. Pengakuan Wells sebagai penemu anestesi harus menunggu 18 tahun setelah kematiannya. Pada tahun 1864, Asosiasi Dokter Gigi Amerika Serikat memberikan penghargaan kepada Wells sebagai penemu anestesi. Empat tahun kemudian, Asosiasi Dokter Amerika mengikuti jejak Asosiasi Dokter Gigi Amerika Serikat dengan mengakui Wells sebagai penemu anestesi(Sandri Justiana, chem-is-try.com)