“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tiada memperhatikan?” (adz-Dzaariyaat:20-21)
Untuk memperkuat keyakinan akan keesaan Allah, tidak boleh hanya mengandalkan indra semata namun juga akal pikiran/rasio. Orang-orang yang sombong dan tidak mau beriman walau tanda-tanda kekuasaan Allah telah nyata baginya tetap berusaha berkilah bahwa mereka baru akan beriman sebatas apa yang dapat tertangkap oleh indra mereka. Indra adalah alat yang memberikan perangkat penilaian kepada rasio sehingga ia dapat menetapkan penilaiannya. Namun tanpa keberadaan rasio, tentulah dari penilaian itu tidak dapat dihasilkan suatu pengetahuan. Indra sering memberikan gambaran yang keliru pada kita dan dengan akal kita baru mengetahui fakta yang sebenarnya.
Ada sebuah anekdot yang dapat merupakan analogi masalah ini. Di sebuah sekolah dasar, seorang guru SD berkata kepada anak-anak murid kelas enam SD, “Apakah kalian melihat diri saya?”
Mereka menjawab,”ya.”
“Dengan begitu, berarti saya ada,” kata sang guru.
Apakah kalianmelihat papan tulis?” tanyanya lebih lanjut.
“Ya.”
“Jika demikian, papan tulis itu ada,” kata sang guru.
“Apakah kalian melihat meja itu?” tanyanya lebih lanjut.
“ya”
“Berarti meja itu ada,”kata sang guru.
“Apakah kalian melihat Tuhan?” tanyanya lagi.
“Tidak”
“Itu berarti Tuhan tidak ada”
Selanjutnya, seorang murid yang cerdas berdiri dan bertanya,”Apakah kalian melihat akal guru kita?”
Mereka menjawab,”tidak.”
“Dengan demikian, akal guru kita tidak ada!!!”
Kalau saja elektron itu berimpitan dengan proton dalam sebuah atom dan atom-atom itu berimpitan dengan atom lainnya sehingga tidak tersisa ruang hampa, tentu bola bumi ini hanya akan sebesar telur. Di manakah akan ada manusia dan lainnya?
Seandainya dijumpai hal yang bertentangan dengan agama, kemungkinan itu terjadi pada agama yang salah atau pada aliran-aliran yang menyimpang. Pertentangan semacam itu tidak dijumpai pada agama yang benar karena kebenaran itu tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang lain. Sebuah agama yang benar harus mempunyai akar yang benar dan setiap cabangnya berasal dari cabang kebenaran. Selalu serasi dengan kebenaran yang mempunyai bukti-bukti dan fakta-fakta. Jika tidak demikian, bisa jadi teks-teks yang berasal dari agama akan kontradiktif dengan kebenaran yang telah dibuktikan secara pasti.
Untuk memperkuat keyakinan akan keesaan Allah, tidak boleh hanya mengandalkan indra semata namun juga akal pikiran/rasio. Orang-orang yang sombong dan tidak mau beriman walau tanda-tanda kekuasaan Allah telah nyata baginya tetap berusaha berkilah bahwa mereka baru akan beriman sebatas apa yang dapat tertangkap oleh indra mereka. Indra adalah alat yang memberikan perangkat penilaian kepada rasio sehingga ia dapat menetapkan penilaiannya. Namun tanpa keberadaan rasio, tentulah dari penilaian itu tidak dapat dihasilkan suatu pengetahuan. Indra sering memberikan gambaran yang keliru pada kita dan dengan akal kita baru mengetahui fakta yang sebenarnya.
Ada sebuah anekdot yang dapat merupakan analogi masalah ini. Di sebuah sekolah dasar, seorang guru SD berkata kepada anak-anak murid kelas enam SD, “Apakah kalian melihat diri saya?”
Mereka menjawab,”ya.”
“Dengan begitu, berarti saya ada,” kata sang guru.
Apakah kalianmelihat papan tulis?” tanyanya lebih lanjut.
“Ya.”
“Jika demikian, papan tulis itu ada,” kata sang guru.
“Apakah kalian melihat meja itu?” tanyanya lebih lanjut.
“ya”
“Berarti meja itu ada,”kata sang guru.
“Apakah kalian melihat Tuhan?” tanyanya lagi.
“Tidak”
“Itu berarti Tuhan tidak ada”
Selanjutnya, seorang murid yang cerdas berdiri dan bertanya,”Apakah kalian melihat akal guru kita?”
Mereka menjawab,”tidak.”
“Dengan demikian, akal guru kita tidak ada!!!”
Kalau saja elektron itu berimpitan dengan proton dalam sebuah atom dan atom-atom itu berimpitan dengan atom lainnya sehingga tidak tersisa ruang hampa, tentu bola bumi ini hanya akan sebesar telur. Di manakah akan ada manusia dan lainnya?
Seandainya dijumpai hal yang bertentangan dengan agama, kemungkinan itu terjadi pada agama yang salah atau pada aliran-aliran yang menyimpang. Pertentangan semacam itu tidak dijumpai pada agama yang benar karena kebenaran itu tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang lain. Sebuah agama yang benar harus mempunyai akar yang benar dan setiap cabangnya berasal dari cabang kebenaran. Selalu serasi dengan kebenaran yang mempunyai bukti-bukti dan fakta-fakta. Jika tidak demikian, bisa jadi teks-teks yang berasal dari agama akan kontradiktif dengan kebenaran yang telah dibuktikan secara pasti.